Kamis, 28 Mei 2015

Analisis Video Psikoterapi

Terapi Bermain (Terapi Bermain Puzzle)   

Terapi bermain merupakan terapi yang digunakan untuk anak usia pra-sekolah (usia 3-5 tahun) yang dihospitalisasi (dirawat di rumah sakit karena terkena sakit atau luka yang mengharuskan dirawat). Ketika anak berusia 3-5 tahun, disitulah masa-masa bermain mereka, di mana mereka bisa bebas bergerak, melakukan atau bermain apa saja yang mereka mau, meluapkan emosi mereka, serta perkembangan motorik kasar mereka. Namun ketika mereka dirawat dan mengharuskan banyak istirahat yang artinya tidak boleh banyak bergerak, di situ lah mereka kehilangan kebebasan bermainnya. Kemudian karena hal itulah mereka bisa menjadi cemas bahkan stres. Maka di sini, terapi bermain lah yang paling cocok bagi anak usia pra-sekolah usia 3-5 tahun yang di hospitalisasi, agar mereka tidak kehilangan masa bermain mereka, serta kemampuan kognitif dan perkembangan motoriknya pun dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Pengertian Terapi Bermain
Landreth (2001) berpendapat bahwa bermain sebagai terapi merupakan salah satu sarana yang digunakan dalam membantu anak mengatasi masalahnya, sebab bagi anak bermain adalah simbol verbalisasi.
Terapi bermain dapat dilakukan didalam ataupun diluar ruangan. Terapi yang dilakukan didalam ruangan sebaiknya dipersiapkan dengan baik terutama dengan alat-alat permainan yang akan digunakan.

Tujuan Terapi Bermain
Tujuan terapi bermain adalah:
1.      Menciptakan suasana aman bagi anak-anak untuk mengekspresikan diri mereka.
2.   Memahami bagaimana sesuatu dapat terjadi, mempelajari aturan sosial dan mengatasi masalah mereka.
3.      Memberi kesempatan bagi anak-anak untuk berekspresi dan mencoba sesuatu yang baru.

Materi Bermain
Materi bermain dalam terapi bermaian dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1.   Mainan untuk memudahkan ekspresi, Mainan adalah kata-kata anak-anak dan bermain adalah bahasa mereka. Oleh karena itu dalam terapi bermain harus tersedia mainan yang memudahkan anak untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Misalnya keluarga boneka manusia, keluarga boneka binatang, mobil, truk, bis dll
2.      Mainan yang mendorong kreativitas, Beberapa mainan, sudah menjadi sifat dasarnya mendorong kreativitas. Sebuah kotak di pojok bisa menjadi rumah. Contoh lain seperti krayon, malam, kertas lipat, balok kayu dll.
3.  Mainan untuk menyalurkan emosi, Anak dapat menggunakan cat, pasir, tanah liat untuk menyalurkan perasaannya yang kuat dimana dia tidak berani mengkomunikasikan dengan lebih terbuka.
4.   Mainan yang dapat mengekspresikan sifat agresi, Mainan senjata, pisau karet, pedang plastik, perisai dari kayu, palu, catut menggambarkan kepada anak suatu arti yang mengekspresikan permusuhan dan agresif. Menembak, menusuk, memukul, dan meninju dengan keras adalah ekspresi simbolik dari kemarahan, dan jika diberi kebebasan bermain akan memberikan terapeutik katarsis, konsentrasi dan koordinasi.

Macam-macam Pendekatan Terapi Bermain
LaBauve, dkk (2001) macam-macam model dalam terapi bermain adalah :
1.   Model Adlerian, digunakan untuk anak dengan kegagalan dalam berinteraksi sosial dan salah dalam mempercayai gaya hidupnya.
2.     Model Terapi Client-Centered, untuk anak-anak yang mengalami ketidaksesuaian antara kejadian hidup dengan dirinya.
3.   Model Kognitif-Behavioral, digunakan untuk menangani anak dengan kepercayaan irrasional yang membawanya keluar dari perilaku maladaptif.
4.      Model Ekosistemik,, dasar yang digunakan adalah teori dari terapi realitas
5.  Model Eksistensialisme, untuk menangani anak-anak yang mengalami kesulitan untuk berkembang sesuai dengan keunikannya yang melemahkan pertumbuhandirinya sehingga mengalami penolakan dalam menjalin hubungan dengan teman-temannya.
6.      Model Gestalt, untuk terapi anak yang mengalami kesulitan bertumbuh secara alami
7.     Model Jungian, digunakan untuk membantu anak yang mengalami ketidakseimbangan psikis, ego tidak dapat menjebatani antara dunia luar dan dalam dirinya.
8.    Model Psikoanalitik, untuk anak yang mengalami konflik internal, kekawatiran, represi, hambatan perkembangan, dan agresivitas.

-ANALISIS-
(Isi dalam video)
Video ini merupakan ilustrasi/gambaran/peragaan dari terapi bermain anak usia pra-sekolah 3-5 tahun. Dalam video ini terapi yang digunakan adalah terapi bermain dengan menggunakan puzzle (bergambar Shaun The Sheep). Modelnya adalah siswa siswi yang berjumlah lima orang, empat perempuan ada yang berperan sebagai anak, kaka perempuan dari anak tersebut, dan dua orang lagi sebagai perawat, serta satu orang laki-laki tadi berperan sebagai ayah dari anak tersebut, yang berasal dari suatu sekolah menengah atas. Peragaan atau role play ini dilakukan di sebuah ruangan seperti ruangan kamar di rumah sakit. Terapi ini dilakukan selama 30 menit dan bertujuan untuk merangsang kecerdasan.
Dalam video ini si anak yang berjenis kelamin perempuan sedang dalam perawatan atau rawat inap di rumah sakit. Dia ditemani oleh ayah dan kaka perempuannya. Ketika mereka sedang bersantai, ada dua orang perawat yang masuk ke dalam ruang rawat tersebut dan memberitahu kepada ayahnya mengenai adanya terapi bermain puzzle, dan perawat tersebut meminta ayanya untuk membujuk anaknya untuk mau melakukan terapi bermain puzzle, dengan ditemani kaka perempuannya. Kemudian anak tersebut bresedia dan mulai menyusun puzzle bergambar shaon the ship yang diberikan oleh si perawat. Saat menyusun puzzle si anak diarahkan dan didampingi oleh dua orang perawat dan kaka perempuanya. Ketika si anak bingung atau salah meletakkan potongan puzzle, kaka perempuannya pun ikut membantunya dengan memberi tahu untuk mencocokan warnanya dari puzzlenya agar sesuai dan berhubungan. Ditengah-tenngah terapi si anak mulai bosan dan tidak mau menyelesaikan permainan puzzle tersebut. Lalu salah satu perawat membujuk dengan cara , jika si anak bisa dan mau menyelesaikan puzzle, maka anak akan diberi hadiah berupa buku gambar dan pensil warna. Tidak lama setelah itu anak melanjutkan permainan puzzlenya hingga selesai. Dan perawat memberikan perawatnya, serta meninggalkan puzzle untuk si anak, agar puzzle tersebut bisa dimainkan bersama kaka perempuannya tanpa harus ada ataupun didampingi oleh perawat. Setelah itu perawat mengkonfirmasi pada si ayah bahwa terapi bermain puzzlenya telah selesai dan hasilnya kemampuan si anak dalam menyusun puzzle cukup baik. Lalu ayahnya berkata kepada perawat sepertinya anaknya malu, lalu perawatnya menjawab bahwa anak usia prasekolah pada umumnya memang cenderung malu dan takut jika ada orang baru dan mendampinginya. Kemudian ayahnya bertanya lagi apakah ada treapi lainnya lagi, si perawat menjawab bahwa ada lagi terapi selain terapi bermain puzzle ini selama si anak di rawat di rumah sakit tersebut sesuai dengan jadwal yang tealh ditentukan. Kemudian kedua perawat tersebut pun pamit.
Kesimpulan dari video ini adalah sebagai berikut:
Di dalam video ini disebutkan bahwa terapi bermain merupakan unsur yang penting bagi anak dalam perkembangan mental, fisik, sosial, dan emosional pada anak yang dihospitalisasi (dalam keadaan dirawat di rumah sakit). Terapi ini dapat meningkatkan kecerdasan dalam berfikir dan membantu dalam perkembangan imajinasi. Pada anak preschool, umumnya pada perkembangan motorik halusnya sudah baik dalam komunikasi verbal maupun non verbalnya. Maka dengan ini kami bermaksud untuk melaksakan program terapi bermain puzzle, karena dengan terapi bermain puzzle akan membuat anak lebih relaks. Alasan lainnya karena anak lebih kooperatif dan memungkinkan untuk diajak bermain. Selain itu permainan puzzle bergambar pada usia preschool yaitu untuk mengembangkan motorik halus untuk intelektual, untuk melatih kemampuan kognitif serta untuk melatih kemampuan berbahasa.
Pembahasan atau terapi bermain yang berada dalam role play video ini bisa dikaitkan atau ada hubungannya dengan teori perkembangan kognitif anak praoperasional dari Piaget, karena terapi bermain ini bertujuan untuk merangsang kecerdasan yang tentu saja berhubungan dengan kognitif, yang sangat sesuai dengan teori perkembangan kognitif anak praoperasional (usia 2-7 tahun) dari Piaget. Berikut penjelasan teori perkembangan kognitif anak praoperasional dari Piaget:
Jean Piaget menggambarkan masa kanak-kanak awal sebagai tahap praopersional (operational stage) dari perkembangan kognitif karena anak pada usia ini belum siap untuk melakukan operasi mental yang logis, yang mana baru bisa mereka lakukan pada saat mencapai tahap konkret operasional pada masa kanak-kanak tengah. Meskipun demikian, tahap praoperasional, yang berlangsung pada usia sekitar 2-7 tahun, ditandai oleh ekspansi yang besar dalam penggunaan pemikiran-pemikiran simbolis, atau kemampuan representasi yang pertama kali muncul pada akhir tahap sensorimotorik. Lalu kemajuan dalam simbolis diiringi dengan tumbuhnya pemahaman mengenai ruang, hubungan sebab-akibat, identitas, dan angka. Beberapa pemahaman ini sudah ada pada masa bayi dan batita; sebagian lain mulai berkembang pada masa kanak-kanak awal tetapi belum tumbuh sempurna sampai masa kanak-kanak tengah. Adapun kemajuan-kemajuan kognitif selama masa kanak-kanak awal, yaitu: penggunaan simbol-simbol, pemahaman identitas, pemahaman sebab-akibat, kemampuan mengklasifikasikan, pemahaman terhadap angka, empati, dan teori tentang pikiran.


Daftar pustaka:
Papalia, D. E., Olds, S. W., dan Feldman, R. D. (2008). Human development: Perkembangan manusia. New York: McGraw-Hill.
Zellawati, Alice. (2011). Terapi bermain untuk mengatasi permasalahan pada anak. Majalah Ilmiah Informatika, Vol.2 No. 3.
Ariani, Yayu. (2014). Terapi bermain puzzle pada anak (Stikes Saru Mulia Banjarmasin Angkatan IV Kelas A). https://www.youtube.com/watch?v=iyJ3fd2Z8l0 (diakses pada: Selasa, 26 Mei 2015, pukul: 13:29).


Anggota kelompok:
     - Gitta Gusty Putri
     - Molic Nur F. S.

Selasa, 21 April 2015

Psikoterapi (Tgas 2)

Artikel 6
Person Cnetered Therapy (Rogers)
(Konsep dasar, Unsur-unsur, Masalah, Tujuan, Peran terapis, Teknik)
Konsep-konsep dasar Terapi Person-Centered:
1.      Menekankan pada dorongan dan kemampuan yang terdapat dalam diri individu yang berkembang, untuk hidup sehat dan menyesuaikan diri.
2.      Menekankan pada unsur atau aspek emosional dan tidak pada aspek intelektual.
3.      Menekankan pada situasi yang langsung dihadapi individu, dan tidak pada masa lampau.
4.      Menekankan pada hubungan terapeutik sebagai pengalaman dalam perkembangan individu yang bersangkutan.
5.      Konsep dasar pandangan tentang manusia.
6.      Pandangan person centered tentang sifat manusia konsep tentang kecenderungan-kecenderungan negatif dasar. Rogers menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang manusia sebagai tersosialisasi dan bergerak ke muka, sebagai berjuang untuk berfungsi penuh, serta sebagai memiliki kebaikan yang positif pada intinya yang terdalam. Pendek kata, manusia dipercayai dan karena pada dasarnya kooperatif dan konstruktif, tidak perlu diadakan pengendalian. Maka dengan pandangan ini, terapi person-centered berakar pada kesanggupan seseorang (klien) untuk sadar dan membuat putusan-putusan.
Terapi ini diharapakan mampu meningkatan harga diri dan keterbukaan yang lebih besar untuk menangani masalah. Beberapa perubahan terkait bahwa bentuk terapi berusaha untuk mendorong pada klien termasuk kesepakatan yang lebih erat antara diri klien ideal dan aktual, lebih baik pemahaman diri; tingkat lebih rendah dari pembelaan diri, rasa bersalah, dan ketidakamanan; hubungan yang lebih positif dan nyaman dengan orang lain, dan peningkatan kapasitas untuk mengalami dan mengekspresikan perasaan pada saat itu terjadi.
Terapist lebih mengutamakan sikapnya daripada pengetahuan dan penguasaan teknik teknik terapi konseling. Terapi person-centered menitikberatkan kondisi-kondisi tertentu yang “diperlukan dan memadai” bagi kelangsungan perubahan kperibadian. Periode ini memperkenalkan unsur-unsur penting dari sikap-sikap terapis, yakni keselarasan, pandangan dan penerimaan positif, dan pengertian yang empatik sebagai prasyarat bagi terapi yang efektif. Kemudian, fokus dialihkan dari refleksi terapis atas perasaan-perasaan klien kpeada tindakan terapis mengungkapkan perasaan-perasaan langsungnya sendiri dalam hubungan dengan klien. Rumusan yang mutakhir memberikan tempat pada lingkup yang lebih luas dan keluwesan yang lebih besar dari tingkah laku terapis, mencakup pengungkapan-pengungkapan atau pendapat-pendapat, perasaan-perasaan dan sebagainya yang pada periode sebelumnya tidak diharapkan muncul. Adapun peran Terapist pada proses terapi yaitu:
1.   Terapist  tidak memimpin, mengatur atau menentukan proses perkembangan terapi tetapi itu dilakukan oleh klien sendiri.
2.   Terapist merefleksikan perasaan-perasaan klien sedangkan arah pembicaraan ditentukan oleh klien.
3. Terapist menerima individu dengan sepenuhnya dalam keadaan atau kenyataan yang bagaimanapun.
4.      Terapist memberi kebebasan kepada klien untuk mengekspresikan perasaan sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
Teknik-teknik konseling, Menurut Rogers (dalam Flanagan & Flanagan, 2004: 183) konselor harus memiliki tiga sikap dasar dalam memahami dan membantu konseli, yaitu congruence, unconditional positive regard, dan accurate empathic understanding.
a.       Congruence
Konsep yang dimaksud Rogers adalah bagaimana konselor tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terintegrasi selama pertemuan konseling. konselor tidak diperkenankan terlibat secara emosional dan berbagi perasaan-perasaan secara impulsif terhadap konseli.
b.      Unconditional positive regard
Perhatian tak bersayarat tidak dicampuri oleh evaluasi atau  penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku konseli sebagai hal yang buruk atau baik. Semakin besar derajat kesukaan,  perhatian dan penerimaan hangat terhadap konseli, maka semakin besar  pula peluang untuk menunjung perubahan pada konseli.
c.       Accurate empathic understanding
Sikap ini merupakan sikap yang krusial, dimana konselor benar- benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam  berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif konseli. Tugas konselor adalah membantu kesadaran konseli terhadap  perasaan-perasaan yang dialami. Rogers percaya bahwa apabila konselor mampu menjangkau dunia pribadi konseli sebagaimana dunia  pribadi itu diamati dan dirasakan oleh konseli, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari konseli, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.


Daftar Pustaka
Nanda, W. E. S. (2013). Person-Centered therapy. Universitas Negeri Malang
http://janokogalls.blogspot.com/2011/12/person-centered-by-carl-roger.html (diakses pada 21 April 2015, pukul: 12:17)

Pikoterapi (Tugas 2)

Artikel 5
Terapi Humanistic Eksistensial
(Konsep dasar, Unsur-unsur, Masalah, Tujuan, Peran terapis, Teknik)
Dasar dari terapi Humanistik adalah penekanan keunikan setiap individu serta memusatkan perhatian pada kecenderungan alami dalam pertumbuhan dan pewujudan dirinya. Dalam terapi ini para ahli tidak mencoba menafsirkan perilaku penderita, tetapi bertujuan untuk memperlancar kajian pikiran dan perasaan seseorang dan membantunya memecahkan masalahnya sendiri. Salah satu pedekatan yang dikenal dalam terapi Humanistik ini adalah terapi yang berpusat kepada klien atau Client-Centered Therapy.
Client-Centered Therapy adalah terapi yang dikembangkan oleh Carl Rogers yang didasarkan kepada asumsi bahwa klien merupakan ahli yang paling baik bagi dirinya sendiri dan merupakan orang yang mampu untuk memecahkan masalahnya sendiri. Tugas terapis adalah mempermudah proses pemecahan masalah mereka sendiri. Terapis juga tidak mengajukan pertanyaan menyelidik, membuat penafsiran, atau menganjurkan serangkaian tindakan. Istilah terapis dalam pendekatan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah fasilitator (Atkinson dkk., 1993). Untuk mencapai pemahaman klien terhadap permasalahan yang dihadapi, maka dalam diri terapis diperlukan beberapa persyaratan antara lain adalah: empati, rapport, dan ikhlas.
Empati adalah kemampuan memahami perasaan yang dapat mengungkapkan keadaan klien & kemampuan mengkomunikasikan pemahaman ini terhadap klien. Terapis berusaha agar masalah yang dihadapi klien dipandang dari sudut klien sendiri. Rapport adalah menerima klien dengan tulus sebagaimana adanya, termasuk pengakuan bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk terlibat secara konstruktif dengan masalahnya. Ikhlas dalam arti sifat terbuka, jujur, dan tidak berpura-pura atau bertindak di balik topeng profesinya (Atkinson dkk., 1993). Selain ketiga hal tersebut, di dalam proses konseling harus terdapat pula adanya jaminan bahwa masalah yang diungkapkan oleh klien dapat dijamin kerahasiaannya serta adanya kebebasan bagi klien untuk kembali lagi berkonsultasi atau tidak sarna sekali jika klien sudah dapat memahami permasalahannya sendiri.
Menurut Rogers (dalam Corey, 1995), pertanyaan "SiapaSaya?" dapat menjadi penyebab kebanyakan seseorang datang ke terapis untuk psikoterapi. Kebanyakan dari mereka ini bertanya: Bagaimana sayadapat menemukan diri nyata saya? Bagaimana saya dapat menjadi apa yang saya inginkan? Bagaimana saya memahami apa yang saya yang ada di balik dinding saya dan menjadi diri sendiri? Oleh karena itu tujuan dari Client-Centered Therapy adalah menciptakan iklim yng kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi pribadi yang dapat berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan tersebut terapis perlu mengusahakan agar klien dapat menghilangkan topeng yang dikenakannya dan mengarahkannya menjadi dirinya sendiri.
Terdapat asumsi dasar humanistik, yaitu:
1.      Manusia pada dasarnya baik.
2.      Manusia memiliki free will.
3.      Setiap manusia itu unik dan memiliki dorongan dasar untuk mencapai aktualisasi diri.
Manusia memiliki free will untuk mengaktualisasikan potensinya dimasa depan apabila berada dalam kondisi lingkungan yang mendukung.
Konsep dasar dari teori humanistik Abraham Maslow adalah teori kebutuhan Maslow atau hierarki kebutuhan Maslow, yaitu kebutuhan fsiologis, rasa aman, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, dan aktualisasi diri.

Tujuan terapi humanistic eksistensial adalah mengurangi rasa ketergantungan kepada orang lain dan untuk memotivasi individumenuju aktualisasi diri.
Teknik terapi humanistic eksistensial:
1.      Content Analysis
Mengambil inti dari rekaman pernyataan klien untuk ditabulasikan.
2.      Rating Scales
Serangkaian pernyataan yang berisi karakteristik yang akan diukur dengan cara menggambarkan kekuatan atau kelemahan dari karakteristik tersebut dalam suatu kontinum.
3.      Q-Sort Procedure
Klien diberi tumpukan kartu atau kertas yang berisi berbagai pernyataan, lalu diminta untuk menyusun pernyataan-pernyataan tersebut dalam suatu kontinum dari yang paling sesuai sampai yang paling tidak sesuai untuk menggambarkan dirinya.


Daftar Pustaka
Yusaini, Celo. (2014). Psikoterapi: Pendekatan eksistensial-humanistik. http://cleostudies.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/05_Pendekatan-eksistensialis-humanistik.pdf
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum2/bab9_beberapa_bentuk_terapi_abnormalitas.pdf

Psikoterapi (Tugas 2)

Artikel 4
Terapi Psikoanalisis
(Konsep dasar, Unsur-unsur, Masalah, Tujuan, Teknik)

Konsep dasar teori psikoanalisis menekankan pada motivasi tidak sadar, konflik, dan symbolism sebagai konsep primer. Manusia pada hakekatnya bersifat biologis, dilahirkan dnegan dorongan-dorongan instingtif dan perilaku merupakan fungsi mereaksi secara mendalam terhaap dorongan-dorongan itu. Manusia bersifat tidak rasional, tidak sosial, dan destruktif terhadap dirinya dan orang lain.
Teori kepribadian menurut Freud, menyangkut tiga hal yaitu:
1.      Struktur Kepribadian: Menurut Freud kepribadian terdiri dari tiga sistem, yaitu: id, ego, dan super ego. Ketiga sistem ini mempunyai fungsi, sifat, prinsip kerja dan dinamika sendiri-sendiri.
2.      Dinamika Kepribadian: terdiri dari cara bagaimana energi psikis itu didistribusikan serta digunakan oleh id, ego, dan super ego. Dalam usaha menegakkan dan mengontrol id agar memuaskan impuls yang sesuai dnegan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat super ego menggunakan energi dari id.
3.      Perkembangan Kepribadian: Kepribadian berkembang sehubungan dengan 4 macam pokok sebagai sumber ketegangan, yaitu:
a.       Proses pertumbuhan fisiologis (kedewasaan)
b.      Frustasi
c.       Konflik, dan
d.      Ancaman
Problem khusus dalam apperceptive distortion:
1.      Hypnosis
Hipnosis merupakan salah satu apperceptive distortion, yaitu bahwa appersepsi subjek diubah sesaat dan sebagai akibatnya terjadilah distorsi-distorsi terhadap appersepsi subjek tersebut. Proses hipnotik dimulai dengan terjadinya suatu penurunan kesadaran yang bertahap sedikit sehingga di dalam fungsi-fungsi appersepsi subjek yang menurun di mana fungsi-fungsi appersepsi tersebut menjadi sempit dan terbatas pada appersepsi mengenai suara sang hipnotisnya saja. Proses pengeksklusifan (penyempitan) appersepsi tersebut mirip dengan seseorang yang mendengar suara orang lain sewaktu ia sudah hampir tidur (lamat-lamat).
2.      Mass Psychological Phenomena (Fenomena psikologi yang terdapat di dalam masa)
Proses terjadinya fenomena ini sangat mirip dengan proses hipnosis. Di dalam Group Psychology and The Analysis of The Ego, Freud mengemukakan bahwa setiap individu akan mengintroyeksikan massa dalam dirinya atau group sebagai suatu faktor transistorik di dalam Ego dan Superego, dimana bila individu menjadi salah satu anggota group, ia akan melihat segala sesuatu berdasarkan kaca mata group atau massa. Dalam hal ini, group terlihat sebagai suatu figure otorita, seperti halnya di dalam hipnosis, sehinggapersepsi kelompok akan mengontrol image memory. Terjadinya pengeroyokan, kekacauan-kekacauan massal, perkelahian massal, merupakan akibat fasilitasi (dipermudah) kemunculan impuls-impuls primitif.
3.      Transference
Transference merupakan hubungan emosiomal pasien terhadap psikoanalitisnya. Sebagaibagian yang integral di dalam hubungan emosional itu, analist paling tidak harus berperan sebagai suatu figure yang tidak bertindak aktif (pasif) di dalam hubungan emosional tersebut, dan dapat menahan diri untuk tidak memberikan celaan atau pujian, ataupun reaksi-reaksi lain terhadap mood (susana hati) pasien. Transference terjadi bila pasien mentransferkan sentimen-sentimennya yang terbentuk di masa-masa lalu kepada analistnya.
4.      Psychoses
Pada delusi-delusi dan halusinasi-halusinasi psikotik terlihat adanya image-image masa lalu yang mendesak sedemikian kuat untuk muncul, sehingga sangat merusak appersepsi-appersepsi (distort the apperception) yang sekarang terhadap dunia.
5.      Therapy
Teori dari psikoanalisis dapat kita bagi menjadi beberapa tahap yang berurutan, yaitu:
a.       Communication: komuniasi antara pasien dengan terapist, adalah melalui asosiasi bebas.
b.      Interpretation: Interpretasi dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu:
-          Horizontal Study: Yakni, terapis berusaha mencari suatu common denominator di dalam pola-pola tingkah laku dan hubungan interpersonal pasien di dalam kehidupan yang sekarang.
-          Vertical Study: Yakni, menggunakan asosiasi bebas ataupun cara-cara lain yang maksudnya untuk melacak sejarah perkembangan common denominator pola-pola tingkah laku pasien di masa-masa yang silam.
-          Relationship to The Therapist (Hubungan dengan Terapisnya): Di dalam usaha melacak sejarah kehidupan pasien tersebut pada masa-masa silamnya, hubungan pasien terhdap terapistnya amatlah penting, sehingga memungkinkan dilakukannya analisis terhadap situasi tranference (analysis of the transference situation).
c.       Insight: secara lebih singkat, insight dapat didefinisikan sebagai appersepsi pasien (atau persepsinya) terhadap common denominator di dalam pola-pola tingkah lakunya, seperti apa yang ditunjukkan oleh terapist. Proses insight dapat dianalisis dari 2 (dua) segi, yaitu:
-          Intellectual Insight
-          Emotional Insight
d.      Working Through: yaitu merealisir insight yang telah atau baru diperolehnya, dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
-          Secara Inteektual (Intellectually)
-          Secara Emosionil (Therapeutically)
-          Di Dalam Tingkah Laku (Behaviorally)
Tujuan dari psikoanalisis adalah menyadarkan individu dari konflik yang tidak disadari serta mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang digunakan untuk mengendalikan kecemasan. Apabila motif dan rasa takut yang tidak disadari telah diketahui, maka hal-hal tersebut dapat diatasi dengan cara yang lebih rasional dan realistis. Dalam bentuknya yang asli, terapi psikoanalisis bersifat intensif dan panjang lebar.
Terapis dan klien umumnya bertemu selama 50 menit beberapa kali dalam seminggu sampai beberapa tahun. Oleh karena itu agar dapat lebih efisien, maka pertemuan dapat dilakukan dengan pembatasan waktu dan penjadwalan waktu yang tidak terlalu sering (Atkinson dkk., 1993).
Teknik-teknik dalam Psikoanalisis disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman intelektual atas tingkah laku klien, serta untuk memahami makna dari beberapa gejala. Kemajuan terapeutik diawali dari pembicaraan klien ke arah katarsis, pemahaman, hal-hal yang tidak disadari, sampai dengan tujuan pemahaman masalahmasalah intelektual dan emosionaI. Untuk itu diperlukan teknik-teknik dasar psikoanalisis, yaitu: Asosiasi Bebas, Penafsiran, Analisis Mimpi, Resistensi, dan Transferensi (Corey, 1995).
Asosiasi Bebas
Asosiasi Bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisis. Terapis meminta klien agar membersihkan pikirannya dari pikiran-pikirandan renungan-renungan sehari-hari, serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang muncul dan melintas dalam pikiran. Cara yang khas adalah dengan mempersilakan klien berbaring di atas balai-balai sementara terapis duduk di belakangnya, sehingga tidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas (Corey, 1995).
Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitandengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal dengan katarsis. Katarsis hanya menghasilkan perbedaan sementara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan pada klien, tetapi tidak memainkan peran utama dalam proses treatment (Corey, 1995).
Penafsiran (Interpretasi)
Penafsiran merupakan prosedur dasar di dalam menganalisis asosiasi bebas, mimpimimpi, resistensi, dan transferensi. Caranya adalah dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi, dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi dari penafsiran ini adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalanginya alam bawah sadar pada diri klien (Corey, 1995).
Analisis Mimpi
Analisis mimpi adalah prosedur atau cara yang penting untuk mengungkap alam bawah sadar dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan muncul ke permukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan "jalan istimewa menuju ketidaksadaran", karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Beberapa motivasi sangat tidak dapat diterima oleh seseorang, sehingga akhimya diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang berbeda (Corey, 1995).
Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isimanifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar (yang merupakan isi laten) ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya. Sementara tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifes. Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkap makna-makna yang terselubung (Corey, 1995).
Resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidak sediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagaipertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut (Corey, 1995). Dalam proses terapi, resistensi bukanlah sesuatu yang harus diatasi, karena merupakan perwujudan dari pertahanan klien yang biasanya dilakukan sehari-hari. Resistensi ini dapat dilihat sebagai sarana untuk bertahan klien terhadap kecemasan, meski sebenamya menghambat kemampuannya untuk menghadapi hidup yang lebih memuaskan (Corey, 1995).
Transferensi
Resistensi dan transferensi merupakan dua hal inti dalam terapi psikonalisis. Transferensi dalam keadaan normal adalah pemindahan emosi dari satu objek ke objek lainnya, atau secara lebih khusus pemindahan emosi dari orangtua kepada terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti. Seperti ketika seorang klien menjadi lekat dan jatuh cinta pada terapis sebagai pemindahan dari orangtuanya (Chaplin, 1995). Transferensi mengejawantah ketika dalam proses terapi ketika "urusan yang tidak selesai" (unfinished business) mas a lalu klien dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh menyebabkan klien mendistorsi dan bereaksi terhadap terapis sebagaimana dia berekasi terhadap ayah/ibunya. Dalam hubungannya dengan terapis, klien mengalami kembali perasaan menolak dan membenci sebagaimana yang dulu dirasakan kepada orangtuanya. Tugas terapis adalah membangkitkan neurosis transferensi klien dengan kenetralan, objektivitas, keanoniman, dan kepasifan yang relatif. Dengan cara ini, maka diharapkan klien dapat menghidupkan kembali masa lampaunya dalam terapi dan memungkinkan klien mampu memperoleh pemahaman atas sifat-sifat dari fiksasi-fiksasi, konflik-konflik atau deprivasi-deprivasinya, serta mengatakan kepada klien suatu pemahaman mengenai pengaruh masa lalu terhadap kehidupannya saat ini (Corey, 1995).


Daftar Pustaka
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_psikologi_proyektif/bab2-apperceptive_distortion_dan_konsep_dasar_psikoanalisis.pdf
http://www.slideshare.net/dina5/teori-psikoanalisa-sigmund-freud (diakses pada 21 April 2015, pukul: 13:52)