Air Jakarta Makin Tercemar
Kondisi
air Jakarta makin buruk. Air yang biasa digunakan penduduk Ibu kota
ini mengalami pencemaran oleh mikrobiologi dan bahan-bahan kimia. Berdasarkan
data di kantor Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta menyebutkan tingkat
pencemaran air telah mencapai 50 persen. Bahkan di beberapa
wilayah, pencemaran airnya sudah 90 persen. Wilayah yang mengalami
pencemaran paling parah adalah Jakarta Pusat. Adapun wilayah Jakarta Timur
mempunyai tingkat pencemaran terendah.
Kepala
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kosasih Wirahadikusumah menjelaskan, faktor
pencemaran dari mikrobiologi adalah terkontaminsai ekoli atau coliform. Bahan
kimia disumbangkan oleh deterjen, kata Kosasih kepada Tempo.
Rabu
(25/1). Dia menjelaskan, kebanyakan bahan pembersih yang beredar di Indonesia
merupakan deterjen dengan kadar keras. Menurut Kosasih, kerasnya deterjen
lantaran mengandung fosfat tinggi hingga lebih dari 18 persen. Kandungan seperti
inilah yang membuat semakin memburuknya kualitas air. Sumber pencemaran ekoli,
katanya, pembuangan kotoran secara sembarangan. Pembuatan septic tank, dia
mencontohkan, belum sepenuhnya menjamin sterilnya air tanah. Apalagi, sekitar
70 persen limbah air berasal dari rumah tangga. Limbah domistik ini
di antaranya air bekas untuk mandi, air cucian, hingga kotoran dapur. Kosasih
juga mengatakan, kebutuhan air bersih untuk dikonsumsi di DKI Jakarta meningkat
setiap tahun. Namun ketersediaan air baku kualitas dan kuantitasnya semakin
memprihatinkan, katanya. Begitu pula dengan pemeriksaan air sungai menunjukkan
tingkat pencemarannya tinggi. Di tempat terpisah, Junani Kartawiri selaku
Kepala Pengendalian Pencemaran Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI, untuk
mengendalikan kerusakan Sungai Ciliwung akan diatur oleh Peraturan Presiden.
Kebijakan ini diambil dalam rangka mengatur keterpaduan program antarpemerintah
provinsi yang dilintasi Sungai Ciliwung. Rencananya, pada tahun ini peraturan
tersebut diberlakukan. Slamet Daroyni dari Wahana Lingkungan Hidup Jakarta,
meragukan peraturan itu bisa berjalan. Menurutnya, sebelumnya sudah ada
peraturan serupa yakni Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 tentang Penataan
Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur. Kenyataannya, kata Slamet, perusakan lingkungan
diwilayah ini terus berlangsung.
Komentar
saya
Air
sumber daya alam yang dapat diperbaharui dalam arti air yang kotor bisa diolah
kembali menjadi air bersih yang layak untuk digunakan oleh manusia. Tetapi zaman
sekarang rasanya kata-kata ini sudah tidak berlaku lagi. Karena pada zaman
sekarang ini makin sulit untuk mencari air yang bersih. Khusunya di daerah
perkotaan, orang-orang makin sulit mencari air bersih untuk keperluan
sehari-harinya seperti untuk mandi, masak, minum, dan lain-lain. Hal ini
disebabkan karena air sungai yang sebagai salah satu sumber air telah tercemar
oleh zat-zat yang membahayakan seperti zat yang terkandung dalam deterjen
seperti yang telah disebutkan dalam artikel di atas. Air yang tercemar oleh
deterjen ini disebabkan oleh manusia yang membuangan air bekas cucian baju atau
pun cucian piring ke dalam sungai, khusunya bagi manusia atau penduduk yang bertempat
tinggal di daerah pemukiman (seperti ibu kota kita, Jakarta) atau yang hidup
dipinggir sungai yang membangun tempat tinggal dipinggir sungai yang setiap
harinya melakukan aktivitas di sekitar sungai termasuk kegiatan mencuci dan
membuang air bekas cuciannya ke dalam sungai. Selain disebabkan oleh deterjen,
pencemaran air ini juga disebabkan oleh sampah dan limbah. Sampah ini sebabkan
oleh penduduk yang selalu dan setiap harinya menbuang sampah ke aliran sungai
dan limbah yang berasal dari pabrik (yang kita sebut limbah pabrik). Limbah pabrik
ini mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika hal ini
terus dibiarkan, maka akan semakin banyak manusia yang terkena penyakit dan
semakin banyak muncul berbagai macam penyakit. Selain itu juga nantinya akan
terjadi kelangkaan air bersih, dan setiap orang harus membeli air bersih demi
untuk melakukan rutinitas hariannya yang 80% membutuhkan air. Dan bisa saja
generasi kita yang selanjutnya tidak bisa merasakan air bersih.
Sumber: Tempo, 26 Januari 2006. pukul 00:32 WIB. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar