Minggu, 28 April 2013

Ilmu Alamiah dan Teknologi Masa Depan Sehubungan dengan Kelangsungan Hidup Manusia

Air Jakarta Makin Tercemar

Kondisi air Jakarta makin buruk. Air yang biasa digunakan penduduk Ibu kota ini mengalami pencemaran oleh mikrobiologi dan bahan-bahan kimia. Berdasarkan data di kantor Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jakarta menyebutkan tingkat pencemaran air telah mencapai 50 persen. Bahkan di beberapa wilayah, pencemaran airnya sudah 90 persen. Wilayah yang mengalami pencemaran paling parah adalah Jakarta Pusat. Adapun wilayah Jakarta Timur mempunyai tingkat pencemaran terendah.
Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kosasih Wirahadikusumah menjelaskan, faktor pencemaran dari mikrobiologi adalah terkontaminsai ekoli atau coliform. Bahan kimia disumbangkan oleh deterjen, kata Kosasih kepada Tempo.
Rabu (25/1). Dia menjelaskan, kebanyakan bahan pembersih yang beredar di Indonesia merupakan deterjen dengan kadar keras. Menurut Kosasih, kerasnya deterjen lantaran mengandung fosfat tinggi hingga lebih dari 18 persen. Kandungan seperti inilah yang membuat semakin memburuknya kualitas air. Sumber pencemaran ekoli, katanya, pembuangan kotoran secara sembarangan. Pembuatan septic tank, dia mencontohkan, belum sepenuhnya menjamin sterilnya air tanah. Apalagi, sekitar 70 persen limbah air  berasal dari rumah tangga. Limbah domistik ini di antaranya air bekas untuk mandi, air cucian, hingga kotoran dapur. Kosasih juga mengatakan, kebutuhan air bersih untuk dikonsumsi di DKI Jakarta meningkat setiap tahun. Namun ketersediaan air baku kualitas dan kuantitasnya semakin memprihatinkan, katanya. Begitu pula dengan pemeriksaan air sungai menunjukkan tingkat pencemarannya tinggi. Di tempat terpisah, Junani Kartawiri selaku Kepala Pengendalian Pencemaran Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI, untuk mengendalikan kerusakan Sungai Ciliwung akan diatur oleh Peraturan Presiden. Kebijakan ini diambil dalam rangka mengatur keterpaduan program antarpemerintah provinsi yang dilintasi Sungai Ciliwung. Rencananya, pada tahun ini peraturan tersebut diberlakukan. Slamet Daroyni dari Wahana Lingkungan Hidup Jakarta, meragukan peraturan itu bisa berjalan. Menurutnya, sebelumnya sudah ada peraturan serupa yakni Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 tentang Penataan Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur. Kenyataannya, kata Slamet, perusakan lingkungan diwilayah ini terus berlangsung.

Komentar saya
Air sumber daya alam yang dapat diperbaharui dalam arti air yang kotor bisa diolah kembali menjadi air bersih yang layak untuk digunakan oleh manusia. Tetapi zaman sekarang rasanya kata-kata ini sudah tidak berlaku lagi. Karena pada zaman sekarang ini makin sulit untuk mencari air yang bersih. Khusunya di daerah perkotaan, orang-orang makin sulit mencari air bersih untuk keperluan sehari-harinya seperti untuk mandi, masak, minum, dan lain-lain. Hal ini disebabkan karena air sungai yang sebagai salah satu sumber air telah tercemar oleh zat-zat yang membahayakan seperti zat yang terkandung dalam deterjen seperti yang telah disebutkan dalam artikel di atas. Air yang tercemar oleh deterjen ini disebabkan oleh manusia yang membuangan air bekas cucian baju atau pun cucian piring ke dalam sungai, khusunya bagi manusia atau penduduk yang bertempat tinggal di daerah pemukiman (seperti ibu kota kita, Jakarta) atau yang hidup dipinggir sungai yang membangun tempat tinggal dipinggir sungai yang setiap harinya melakukan aktivitas di sekitar sungai termasuk kegiatan mencuci dan membuang air bekas cuciannya ke dalam sungai. Selain disebabkan oleh deterjen, pencemaran air ini juga disebabkan oleh sampah dan limbah. Sampah ini sebabkan oleh penduduk yang selalu dan setiap harinya menbuang sampah ke aliran sungai dan limbah yang berasal dari pabrik (yang kita sebut limbah pabrik). Limbah pabrik ini mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Jika hal ini terus dibiarkan, maka akan semakin banyak manusia yang terkena penyakit dan semakin banyak muncul berbagai macam penyakit. Selain itu juga nantinya akan terjadi kelangkaan air bersih, dan setiap orang harus membeli air bersih demi untuk melakukan rutinitas hariannya yang 80% membutuhkan air. Dan bisa saja generasi kita yang selanjutnya tidak bisa merasakan air bersih.

Sumber: Tempo, 26 Januari 2006. pukul 00:32 WIB. Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar