Selasa, 21 April 2015

Psikoterapi (Tgas 2)

Artikel 6
Person Cnetered Therapy (Rogers)
(Konsep dasar, Unsur-unsur, Masalah, Tujuan, Peran terapis, Teknik)
Konsep-konsep dasar Terapi Person-Centered:
1.      Menekankan pada dorongan dan kemampuan yang terdapat dalam diri individu yang berkembang, untuk hidup sehat dan menyesuaikan diri.
2.      Menekankan pada unsur atau aspek emosional dan tidak pada aspek intelektual.
3.      Menekankan pada situasi yang langsung dihadapi individu, dan tidak pada masa lampau.
4.      Menekankan pada hubungan terapeutik sebagai pengalaman dalam perkembangan individu yang bersangkutan.
5.      Konsep dasar pandangan tentang manusia.
6.      Pandangan person centered tentang sifat manusia konsep tentang kecenderungan-kecenderungan negatif dasar. Rogers menunjukkan kepercayaan yang mendalam pada manusia. Ia memandang manusia sebagai tersosialisasi dan bergerak ke muka, sebagai berjuang untuk berfungsi penuh, serta sebagai memiliki kebaikan yang positif pada intinya yang terdalam. Pendek kata, manusia dipercayai dan karena pada dasarnya kooperatif dan konstruktif, tidak perlu diadakan pengendalian. Maka dengan pandangan ini, terapi person-centered berakar pada kesanggupan seseorang (klien) untuk sadar dan membuat putusan-putusan.
Terapi ini diharapakan mampu meningkatan harga diri dan keterbukaan yang lebih besar untuk menangani masalah. Beberapa perubahan terkait bahwa bentuk terapi berusaha untuk mendorong pada klien termasuk kesepakatan yang lebih erat antara diri klien ideal dan aktual, lebih baik pemahaman diri; tingkat lebih rendah dari pembelaan diri, rasa bersalah, dan ketidakamanan; hubungan yang lebih positif dan nyaman dengan orang lain, dan peningkatan kapasitas untuk mengalami dan mengekspresikan perasaan pada saat itu terjadi.
Terapist lebih mengutamakan sikapnya daripada pengetahuan dan penguasaan teknik teknik terapi konseling. Terapi person-centered menitikberatkan kondisi-kondisi tertentu yang “diperlukan dan memadai” bagi kelangsungan perubahan kperibadian. Periode ini memperkenalkan unsur-unsur penting dari sikap-sikap terapis, yakni keselarasan, pandangan dan penerimaan positif, dan pengertian yang empatik sebagai prasyarat bagi terapi yang efektif. Kemudian, fokus dialihkan dari refleksi terapis atas perasaan-perasaan klien kpeada tindakan terapis mengungkapkan perasaan-perasaan langsungnya sendiri dalam hubungan dengan klien. Rumusan yang mutakhir memberikan tempat pada lingkup yang lebih luas dan keluwesan yang lebih besar dari tingkah laku terapis, mencakup pengungkapan-pengungkapan atau pendapat-pendapat, perasaan-perasaan dan sebagainya yang pada periode sebelumnya tidak diharapkan muncul. Adapun peran Terapist pada proses terapi yaitu:
1.   Terapist  tidak memimpin, mengatur atau menentukan proses perkembangan terapi tetapi itu dilakukan oleh klien sendiri.
2.   Terapist merefleksikan perasaan-perasaan klien sedangkan arah pembicaraan ditentukan oleh klien.
3. Terapist menerima individu dengan sepenuhnya dalam keadaan atau kenyataan yang bagaimanapun.
4.      Terapist memberi kebebasan kepada klien untuk mengekspresikan perasaan sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
Teknik-teknik konseling, Menurut Rogers (dalam Flanagan & Flanagan, 2004: 183) konselor harus memiliki tiga sikap dasar dalam memahami dan membantu konseli, yaitu congruence, unconditional positive regard, dan accurate empathic understanding.
a.       Congruence
Konsep yang dimaksud Rogers adalah bagaimana konselor tampil nyata, utuh, otentik dan tidak palsu serta terintegrasi selama pertemuan konseling. konselor tidak diperkenankan terlibat secara emosional dan berbagi perasaan-perasaan secara impulsif terhadap konseli.
b.      Unconditional positive regard
Perhatian tak bersayarat tidak dicampuri oleh evaluasi atau  penilaian terhadap pemikiran-pemikiran dan tingkah laku konseli sebagai hal yang buruk atau baik. Semakin besar derajat kesukaan,  perhatian dan penerimaan hangat terhadap konseli, maka semakin besar  pula peluang untuk menunjung perubahan pada konseli.
c.       Accurate empathic understanding
Sikap ini merupakan sikap yang krusial, dimana konselor benar- benar dituntut untuk menggunakan kemampuan inderanya dalam  berempati guna mengenali dan menjelajahi pengalaman subjektif konseli. Tugas konselor adalah membantu kesadaran konseli terhadap  perasaan-perasaan yang dialami. Rogers percaya bahwa apabila konselor mampu menjangkau dunia pribadi konseli sebagaimana dunia  pribadi itu diamati dan dirasakan oleh konseli, tanpa kehilangan identitas dirinya yang terpisah dari konseli, maka perubahan yang konstruktif akan terjadi.


Daftar Pustaka
Nanda, W. E. S. (2013). Person-Centered therapy. Universitas Negeri Malang
http://janokogalls.blogspot.com/2011/12/person-centered-by-carl-roger.html (diakses pada 21 April 2015, pukul: 12:17)

Pikoterapi (Tugas 2)

Artikel 5
Terapi Humanistic Eksistensial
(Konsep dasar, Unsur-unsur, Masalah, Tujuan, Peran terapis, Teknik)
Dasar dari terapi Humanistik adalah penekanan keunikan setiap individu serta memusatkan perhatian pada kecenderungan alami dalam pertumbuhan dan pewujudan dirinya. Dalam terapi ini para ahli tidak mencoba menafsirkan perilaku penderita, tetapi bertujuan untuk memperlancar kajian pikiran dan perasaan seseorang dan membantunya memecahkan masalahnya sendiri. Salah satu pedekatan yang dikenal dalam terapi Humanistik ini adalah terapi yang berpusat kepada klien atau Client-Centered Therapy.
Client-Centered Therapy adalah terapi yang dikembangkan oleh Carl Rogers yang didasarkan kepada asumsi bahwa klien merupakan ahli yang paling baik bagi dirinya sendiri dan merupakan orang yang mampu untuk memecahkan masalahnya sendiri. Tugas terapis adalah mempermudah proses pemecahan masalah mereka sendiri. Terapis juga tidak mengajukan pertanyaan menyelidik, membuat penafsiran, atau menganjurkan serangkaian tindakan. Istilah terapis dalam pendekatan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah fasilitator (Atkinson dkk., 1993). Untuk mencapai pemahaman klien terhadap permasalahan yang dihadapi, maka dalam diri terapis diperlukan beberapa persyaratan antara lain adalah: empati, rapport, dan ikhlas.
Empati adalah kemampuan memahami perasaan yang dapat mengungkapkan keadaan klien & kemampuan mengkomunikasikan pemahaman ini terhadap klien. Terapis berusaha agar masalah yang dihadapi klien dipandang dari sudut klien sendiri. Rapport adalah menerima klien dengan tulus sebagaimana adanya, termasuk pengakuan bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk terlibat secara konstruktif dengan masalahnya. Ikhlas dalam arti sifat terbuka, jujur, dan tidak berpura-pura atau bertindak di balik topeng profesinya (Atkinson dkk., 1993). Selain ketiga hal tersebut, di dalam proses konseling harus terdapat pula adanya jaminan bahwa masalah yang diungkapkan oleh klien dapat dijamin kerahasiaannya serta adanya kebebasan bagi klien untuk kembali lagi berkonsultasi atau tidak sarna sekali jika klien sudah dapat memahami permasalahannya sendiri.
Menurut Rogers (dalam Corey, 1995), pertanyaan "SiapaSaya?" dapat menjadi penyebab kebanyakan seseorang datang ke terapis untuk psikoterapi. Kebanyakan dari mereka ini bertanya: Bagaimana sayadapat menemukan diri nyata saya? Bagaimana saya dapat menjadi apa yang saya inginkan? Bagaimana saya memahami apa yang saya yang ada di balik dinding saya dan menjadi diri sendiri? Oleh karena itu tujuan dari Client-Centered Therapy adalah menciptakan iklim yng kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi pribadi yang dapat berfungsi penuh. Guna mencapai tujuan tersebut terapis perlu mengusahakan agar klien dapat menghilangkan topeng yang dikenakannya dan mengarahkannya menjadi dirinya sendiri.
Terdapat asumsi dasar humanistik, yaitu:
1.      Manusia pada dasarnya baik.
2.      Manusia memiliki free will.
3.      Setiap manusia itu unik dan memiliki dorongan dasar untuk mencapai aktualisasi diri.
Manusia memiliki free will untuk mengaktualisasikan potensinya dimasa depan apabila berada dalam kondisi lingkungan yang mendukung.
Konsep dasar dari teori humanistik Abraham Maslow adalah teori kebutuhan Maslow atau hierarki kebutuhan Maslow, yaitu kebutuhan fsiologis, rasa aman, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, dan aktualisasi diri.

Tujuan terapi humanistic eksistensial adalah mengurangi rasa ketergantungan kepada orang lain dan untuk memotivasi individumenuju aktualisasi diri.
Teknik terapi humanistic eksistensial:
1.      Content Analysis
Mengambil inti dari rekaman pernyataan klien untuk ditabulasikan.
2.      Rating Scales
Serangkaian pernyataan yang berisi karakteristik yang akan diukur dengan cara menggambarkan kekuatan atau kelemahan dari karakteristik tersebut dalam suatu kontinum.
3.      Q-Sort Procedure
Klien diberi tumpukan kartu atau kertas yang berisi berbagai pernyataan, lalu diminta untuk menyusun pernyataan-pernyataan tersebut dalam suatu kontinum dari yang paling sesuai sampai yang paling tidak sesuai untuk menggambarkan dirinya.


Daftar Pustaka
Yusaini, Celo. (2014). Psikoterapi: Pendekatan eksistensial-humanistik. http://cleostudies.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/05_Pendekatan-eksistensialis-humanistik.pdf
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_umum2/bab9_beberapa_bentuk_terapi_abnormalitas.pdf

Psikoterapi (Tugas 2)

Artikel 4
Terapi Psikoanalisis
(Konsep dasar, Unsur-unsur, Masalah, Tujuan, Teknik)

Konsep dasar teori psikoanalisis menekankan pada motivasi tidak sadar, konflik, dan symbolism sebagai konsep primer. Manusia pada hakekatnya bersifat biologis, dilahirkan dnegan dorongan-dorongan instingtif dan perilaku merupakan fungsi mereaksi secara mendalam terhaap dorongan-dorongan itu. Manusia bersifat tidak rasional, tidak sosial, dan destruktif terhadap dirinya dan orang lain.
Teori kepribadian menurut Freud, menyangkut tiga hal yaitu:
1.      Struktur Kepribadian: Menurut Freud kepribadian terdiri dari tiga sistem, yaitu: id, ego, dan super ego. Ketiga sistem ini mempunyai fungsi, sifat, prinsip kerja dan dinamika sendiri-sendiri.
2.      Dinamika Kepribadian: terdiri dari cara bagaimana energi psikis itu didistribusikan serta digunakan oleh id, ego, dan super ego. Dalam usaha menegakkan dan mengontrol id agar memuaskan impuls yang sesuai dnegan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat super ego menggunakan energi dari id.
3.      Perkembangan Kepribadian: Kepribadian berkembang sehubungan dengan 4 macam pokok sebagai sumber ketegangan, yaitu:
a.       Proses pertumbuhan fisiologis (kedewasaan)
b.      Frustasi
c.       Konflik, dan
d.      Ancaman
Problem khusus dalam apperceptive distortion:
1.      Hypnosis
Hipnosis merupakan salah satu apperceptive distortion, yaitu bahwa appersepsi subjek diubah sesaat dan sebagai akibatnya terjadilah distorsi-distorsi terhadap appersepsi subjek tersebut. Proses hipnotik dimulai dengan terjadinya suatu penurunan kesadaran yang bertahap sedikit sehingga di dalam fungsi-fungsi appersepsi subjek yang menurun di mana fungsi-fungsi appersepsi tersebut menjadi sempit dan terbatas pada appersepsi mengenai suara sang hipnotisnya saja. Proses pengeksklusifan (penyempitan) appersepsi tersebut mirip dengan seseorang yang mendengar suara orang lain sewaktu ia sudah hampir tidur (lamat-lamat).
2.      Mass Psychological Phenomena (Fenomena psikologi yang terdapat di dalam masa)
Proses terjadinya fenomena ini sangat mirip dengan proses hipnosis. Di dalam Group Psychology and The Analysis of The Ego, Freud mengemukakan bahwa setiap individu akan mengintroyeksikan massa dalam dirinya atau group sebagai suatu faktor transistorik di dalam Ego dan Superego, dimana bila individu menjadi salah satu anggota group, ia akan melihat segala sesuatu berdasarkan kaca mata group atau massa. Dalam hal ini, group terlihat sebagai suatu figure otorita, seperti halnya di dalam hipnosis, sehinggapersepsi kelompok akan mengontrol image memory. Terjadinya pengeroyokan, kekacauan-kekacauan massal, perkelahian massal, merupakan akibat fasilitasi (dipermudah) kemunculan impuls-impuls primitif.
3.      Transference
Transference merupakan hubungan emosiomal pasien terhadap psikoanalitisnya. Sebagaibagian yang integral di dalam hubungan emosional itu, analist paling tidak harus berperan sebagai suatu figure yang tidak bertindak aktif (pasif) di dalam hubungan emosional tersebut, dan dapat menahan diri untuk tidak memberikan celaan atau pujian, ataupun reaksi-reaksi lain terhadap mood (susana hati) pasien. Transference terjadi bila pasien mentransferkan sentimen-sentimennya yang terbentuk di masa-masa lalu kepada analistnya.
4.      Psychoses
Pada delusi-delusi dan halusinasi-halusinasi psikotik terlihat adanya image-image masa lalu yang mendesak sedemikian kuat untuk muncul, sehingga sangat merusak appersepsi-appersepsi (distort the apperception) yang sekarang terhadap dunia.
5.      Therapy
Teori dari psikoanalisis dapat kita bagi menjadi beberapa tahap yang berurutan, yaitu:
a.       Communication: komuniasi antara pasien dengan terapist, adalah melalui asosiasi bebas.
b.      Interpretation: Interpretasi dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu:
-          Horizontal Study: Yakni, terapis berusaha mencari suatu common denominator di dalam pola-pola tingkah laku dan hubungan interpersonal pasien di dalam kehidupan yang sekarang.
-          Vertical Study: Yakni, menggunakan asosiasi bebas ataupun cara-cara lain yang maksudnya untuk melacak sejarah perkembangan common denominator pola-pola tingkah laku pasien di masa-masa yang silam.
-          Relationship to The Therapist (Hubungan dengan Terapisnya): Di dalam usaha melacak sejarah kehidupan pasien tersebut pada masa-masa silamnya, hubungan pasien terhdap terapistnya amatlah penting, sehingga memungkinkan dilakukannya analisis terhadap situasi tranference (analysis of the transference situation).
c.       Insight: secara lebih singkat, insight dapat didefinisikan sebagai appersepsi pasien (atau persepsinya) terhadap common denominator di dalam pola-pola tingkah lakunya, seperti apa yang ditunjukkan oleh terapist. Proses insight dapat dianalisis dari 2 (dua) segi, yaitu:
-          Intellectual Insight
-          Emotional Insight
d.      Working Through: yaitu merealisir insight yang telah atau baru diperolehnya, dengan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
-          Secara Inteektual (Intellectually)
-          Secara Emosionil (Therapeutically)
-          Di Dalam Tingkah Laku (Behaviorally)
Tujuan dari psikoanalisis adalah menyadarkan individu dari konflik yang tidak disadari serta mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang digunakan untuk mengendalikan kecemasan. Apabila motif dan rasa takut yang tidak disadari telah diketahui, maka hal-hal tersebut dapat diatasi dengan cara yang lebih rasional dan realistis. Dalam bentuknya yang asli, terapi psikoanalisis bersifat intensif dan panjang lebar.
Terapis dan klien umumnya bertemu selama 50 menit beberapa kali dalam seminggu sampai beberapa tahun. Oleh karena itu agar dapat lebih efisien, maka pertemuan dapat dilakukan dengan pembatasan waktu dan penjadwalan waktu yang tidak terlalu sering (Atkinson dkk., 1993).
Teknik-teknik dalam Psikoanalisis disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman intelektual atas tingkah laku klien, serta untuk memahami makna dari beberapa gejala. Kemajuan terapeutik diawali dari pembicaraan klien ke arah katarsis, pemahaman, hal-hal yang tidak disadari, sampai dengan tujuan pemahaman masalahmasalah intelektual dan emosionaI. Untuk itu diperlukan teknik-teknik dasar psikoanalisis, yaitu: Asosiasi Bebas, Penafsiran, Analisis Mimpi, Resistensi, dan Transferensi (Corey, 1995).
Asosiasi Bebas
Asosiasi Bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisis. Terapis meminta klien agar membersihkan pikirannya dari pikiran-pikirandan renungan-renungan sehari-hari, serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang muncul dan melintas dalam pikiran. Cara yang khas adalah dengan mempersilakan klien berbaring di atas balai-balai sementara terapis duduk di belakangnya, sehingga tidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas (Corey, 1995).
Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitandengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal dengan katarsis. Katarsis hanya menghasilkan perbedaan sementara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan pada klien, tetapi tidak memainkan peran utama dalam proses treatment (Corey, 1995).
Penafsiran (Interpretasi)
Penafsiran merupakan prosedur dasar di dalam menganalisis asosiasi bebas, mimpimimpi, resistensi, dan transferensi. Caranya adalah dengan tindakan-tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan klien makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi, dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi dari penafsiran ini adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalanginya alam bawah sadar pada diri klien (Corey, 1995).
Analisis Mimpi
Analisis mimpi adalah prosedur atau cara yang penting untuk mengungkap alam bawah sadar dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan muncul ke permukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan "jalan istimewa menuju ketidaksadaran", karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Beberapa motivasi sangat tidak dapat diterima oleh seseorang, sehingga akhimya diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang berbeda (Corey, 1995).
Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isimanifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar (yang merupakan isi laten) ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya. Sementara tugas terapis adalah mengungkap makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifes. Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkap makna-makna yang terselubung (Corey, 1995).
Resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidak sediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagaipertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut (Corey, 1995). Dalam proses terapi, resistensi bukanlah sesuatu yang harus diatasi, karena merupakan perwujudan dari pertahanan klien yang biasanya dilakukan sehari-hari. Resistensi ini dapat dilihat sebagai sarana untuk bertahan klien terhadap kecemasan, meski sebenamya menghambat kemampuannya untuk menghadapi hidup yang lebih memuaskan (Corey, 1995).
Transferensi
Resistensi dan transferensi merupakan dua hal inti dalam terapi psikonalisis. Transferensi dalam keadaan normal adalah pemindahan emosi dari satu objek ke objek lainnya, atau secara lebih khusus pemindahan emosi dari orangtua kepada terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti. Seperti ketika seorang klien menjadi lekat dan jatuh cinta pada terapis sebagai pemindahan dari orangtuanya (Chaplin, 1995). Transferensi mengejawantah ketika dalam proses terapi ketika "urusan yang tidak selesai" (unfinished business) mas a lalu klien dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh menyebabkan klien mendistorsi dan bereaksi terhadap terapis sebagaimana dia berekasi terhadap ayah/ibunya. Dalam hubungannya dengan terapis, klien mengalami kembali perasaan menolak dan membenci sebagaimana yang dulu dirasakan kepada orangtuanya. Tugas terapis adalah membangkitkan neurosis transferensi klien dengan kenetralan, objektivitas, keanoniman, dan kepasifan yang relatif. Dengan cara ini, maka diharapkan klien dapat menghidupkan kembali masa lampaunya dalam terapi dan memungkinkan klien mampu memperoleh pemahaman atas sifat-sifat dari fiksasi-fiksasi, konflik-konflik atau deprivasi-deprivasinya, serta mengatakan kepada klien suatu pemahaman mengenai pengaruh masa lalu terhadap kehidupannya saat ini (Corey, 1995).


Daftar Pustaka
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_psikologi_proyektif/bab2-apperceptive_distortion_dan_konsep_dasar_psikoanalisis.pdf
http://www.slideshare.net/dina5/teori-psikoanalisa-sigmund-freud (diakses pada 21 April 2015, pukul: 13:52)

Senin, 20 April 2015

Psikoterapi (Tugas 2)

Artikel 3
Person Centered Therapy (Rogers)
Carl Roger merupakan tokoh Teori Kepribadian Humanistik, Ia Lahir di Illinois (1902 – 1988) Ia adalah salah seorang peletak dasar dari gerakan potensi manusia, yang menekankan perkembangan pribadi melalui latihan sensitivitas, kelompok pertemuan, dan latihan lainnya yang ditujukan untuk membantu orang agar memiliki pribadi yang sehat. sejak kecil Ia menerima penanaman yang ketat mengenai kerja keras dan nilai agama Protestan. Kelak kedua hal ini mewarnai teori-teorinya. Setelah mempelajari teologi, ia masuk Teacher’s College di Columbia Uni, dimana banyak tokoh psikologi mengajar. Di Columbia Uni ia meraih gelar Ph.D. Rogers bekerja sebagai psikoterapis dan dari profesinya inilah ia mengembangkan teori Humanistiknya. Dalam konteks terapi, ia menemukan dan mengembangkan teknik terapi yang dikenal sebagai Client-centered Therapy.
Psikoterapi ini berkembang pada tahun 1960an, psikoterapi ini menekankan bahwa prinsip terapi ini tidak hanya diterapakan dalam proses terapi tetapi prinsip-prinsip terapi ini dapat diterapkan di berbagai setting seperti dalam masyarakat. Titik berat : meningkatkan keterlibatan hubungan personal dengan klien, terapist lebih aktif & terbuka, lebih memperhatikan pengaruh lingkungan.
Model terapi berpusat pribadi dikembangkan oleh Carl R. Rogers. Sebagai hampiran keilmuan merupakan cabang dari psikologi humanistik yang menekankan model fenomenologis. Terapi person-centered mula-mula dikembangkan pada 1940 an sebagai reaksi terhadap terapi psychoanalytic. Didasarkan pada pandangan subjektif terhadap pengalaman manusia, menekankan sumber daya terapi untuk menjadi sadar diri self-aware dan untuk pemecahan hambatan ke pertumbuhan pribadi. Model ini meletakkan klien, bukan terapi, sebagai pusat terapi. Falsafah dan Asumsi Dasar Model ini berdasarkan pada pandangan positif tentang manusia yang melihat orang memiliki sifat bawaan berjuang keras ke arah menjadi untuk berfungsi secara penuh (becoming fully functioning). Asumsi dasarnya adalah: dalam konteks suatu hubungan pribadi dengan kepedulian terapist, klien mengalami perasaan yang sebelumnya ditolak atau disimpangkan dan peningkatan self-awareness.


Daftar Pustaka
Alwilsol(2008). Psikologi Kepribadian. UMM Press. Malang Suryabrata, Sumadi (2008). Psikologi Kepribadian. Rajawali Pers. Jakarta.
http://janokogalls.blogspot.com/2011/12/person-centered-by-carl-roger.html (diakses pada 21 April 2015, pukul: 12:17)

Psikoterapi (Tugas 2)

Artikel 2
Terapi Humanistic Eksistensial


Istilah psikologi humanistik (Humanistic Psychology) diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow menyebut psikologi humanistik sebagai “kekuatan ketiga” (a third force).
Meskipun tokoh-tokoh  psikologi humanistik memiliki pandangan yang berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia, yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu eksistensialisme. Eksistensialisme adalah hal yang mengada-dalam dunia (being-in-the-world) dan menyadari penuh akan keberadaannya (Koeswara, 1986 : 113). Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya, para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya, dalam hal ini “pilihan” menjadi evaluasi tertinggi dari tindakan yang akan diambil oleh seseorang.
Teori eksistensial-humanistik menekankan renungan filosofi tentang apa artinya menjadi manusia. Banyak para ahli psikologi yang berorientasi eksistensial,mengajukan argumen menentang pembatasan studi tingkah laku pada metode-metode yang digunakan oleh ilmu alam.
Pendekatan Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan Eksistensial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang bertujuan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial-humanistik bukan merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia.
Humanistik berkembang karena aliran psikoanalisis dan behavioris dinilai terlalu deterministik dan mekanistik. Humanistik memandang manusia sebagai makhluk rasional, bertujuan, otonom, kreatif, dan mampu mencapai insight terhadap realita.
Terdapat asumsi dasar humanistik:
1.      Manusia pada dasarnya baik.
2.      Manusia memilikifree will.
3.      Setiap manusia itu unik dan memiliki dorongan dasar untuk mencapai aktualisasi diri.
Dasar dari terapi Humanistik adalah penekanan keunikan setiap individu serta memusatkan perhatian pada kecenderungan alami dalam pertumbuhan dan pewujudan dirinya. Salah satu pedekatan yang dikenal dalam terapi Humanistik ini adalah terapi yang berpusat kepada klien atau Client-Centered Therapy.


Daftar Pustaka
Feist, Jess dan Feist, Gregory. (2010). Teori kepribadian. New York: Salemba Humanika
Gerald, Corey. (2009). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama
Lubis, Lumongga Namora. (2011). Memahami dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Misiak, Henryk. (2005). Psikologi fenomenologi, eksistensial dan humanistik. Bandung: PT Rafika aditama
Semiun,Yustinus. (2006). Kesehatan mental 3. Kanisius: Yogyakarta
Yusaini, Celo. (2014). Psikoterapi: Pendekatan eksistensial-humanistik. http://cleostudies.lecture.ub.ac.id/files/2014/03/05_Pendekatan-eksistensialis-humanistik.pdf